Saat itu adalah saat untuk sholat subuh (sekitar jam 3.30 pagi) dan saya mendengar suara seluruh penghuni rumah bangun. Saya sudah bangun, tetapi saya tidak ingin meninggalkan ruangan saya.
Kejadian itu terjadi beberapa bulan setelah saya dibebaskan dari penjara dan saya tidak pernah lagi bersembahyang di mesjid. Saya tidak lagi pergi ke mesjid lima kali sehari dan sebagai gantinya saya duduk di tempat tidur atau meja saya, berdoa kepada Tuhan yang sesungguhnya agar Ia menampakkan diri kepada saya, Tuhan manapun yang membuat saya tetap hidup selama di dalam penjara. Terkadang saya tidak mampu berkata-kata di dalam doa saya itu. Saya hanya duduk dan menangis. Ingatan tentang keadaan selama saya di penjara itu selalu mendatangi saya.
Ibu saya mengetuk pintu kamar saya dengan lembut, “Apakah kamu akan ke mesjid hari ini,” ia bertanya.
“Tidak,” jawab saya, “Saya tidak ingin bertemu dengan orang lain.”
Dalam budaya Islam, jika Anda berdoa seorang diri di dalam kamar, iman Anda tidak akan dipertanyakan selama Anda masih berdoa kepada Allah, dan itu artinya Anda masih seorang Muslim. Keluarga saya berpikir, bahwa saya hanya membutuhkan waktu untuk pemulihan. Mereka berpikir bahwa saya hanya tidak ingin berada di antara orang banyak.
PERGUMULAN DI DALAM HATI SAYA
Saya keluar dari penjara dengan rasa marah terhadap agama Islam tetapi tetap meyakini bahwa ada kuasa yang luar biasa yang telah menjaga saya hingga tetap hidup. Setiap hari, keingintahuan saya akan “Tuhan” itu menjadi semakin besar. Setiap saat saya bertanya dalam hati, “Tuhan seperti apakah Dia?” Saya tidak pernah berpikir tentang Tuhannya orang Yahudi atau orang Kristen. Mengapa? Karena saya masih dipengaruhi oleh Al Quran dan ajaran-ajaran Muhammad. Al Quran mengatakan orang Kristen menyembah tiga Tuhan – Tuhan Bapa, Yesus Kristus sang Anak dan Maria, ibu Yesus. Saya sedang mencari Tuhan yang hanya ada satu, bukan tiga. Selain itu Al Quran katakan bahwa orang Yahudi adalah orang-orang yang jahat yang telah menyelewengkan Kitab Suci mereka. Jadi saat itu saya tidak akan memandang kepada Tuhan mereka.
Hal ini mendorong saya untuk melihat pada agama-agama di Timur Jauh – Hindu dan Budha. Saya telah mendengar tentang agama-agama ini ketika saya sedang menempuh kuliah S-1, dan saat itu saya telah menemukan banyak buku untuk mempelajari tentang agama-agama tersebut. “Apakah Tuhannya orang Hindu?” saya bertanya-tanya. “Atau apakah Tuhannya orang Budha?” Tetapi, setelah mempelajari semuanya itu, kesimpulan saya adalah “Tidak”.
Ketika saya hendak merenung, saya duduk di tepi sungai dan melihat airnya. Air, tanaman hijau, langit, alam – semua ini memberi saya harapan bahwa ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya.
Setiap hari setelah saya bekerja dengan ayah saya, saya kembali ke rumah dan menyantap makan malam bersama ibu dan dua saudara laki-laki saya yang belum menikah. Biasanya, setelah makan malam di malam Kamis, saya menceritakan sebuah cerita dari hadits yang sangat disukai oleh adik laki-laki saya. Tetapi, saya berhenti melakukan hal itu setelah keluar dari penjara. Sehingga adik saya selalu bertanya, “Mengapa kamu tidak mau lagi bercerita kepada kami?”
Setelah menyelesaikan makan malam, saya pergi keluar bersama beberapa orang teman. Kadang-kadang saya duduk di warung kopi, bermain kartu atau bermain catur. Kadang-kadang menonton acara olahraga di TV atau kami berjalan-jalan di tepi sungai nil.
Saya kembali ke rumah sekitar pukul 11 malam atau tengah malam dengan kelelahan. Ketika saya seorang diri lagi, saya merasa seperti orang yang tidak punya harapan di dunia ini karena saya belum bisa menemukan siapa itu Tuhan yang sesungguhnya. Saya menghabiskan waktu satu sampai dua jam setiap malam, mencoba untuk tertidur. Kemudian saya bangun pagi seperti biasa. Akibatnya tubuh saya menjadi lelah dan saya mulai mengalami sakit kepala akut.
Saya pergi ke dokter untuk melakukan scan terhadap otak saya. Meski demikian, sakit kepala itu tidak membuat saya berhenti bekerja dan meneruskan gaya hidup saya. Jika sedang sibuk, saya bisa melupakannya. Tetapi jika saya seorang diri di malam hari dan mencoba untuk tidur, maka sakit kepala itu menyerang sangat hebat. Dokter kemudian memberikan obat penghilang sakit yang diminum setiap malam.
RESEP BARU
Saya menjalani hidup seperti ini selama kurang lebih satu tahun. Suatu hari, sakit kepala itu menyerang begitu hebat, sehingga saya pergi ke apotek untuk membeli pil lagi. Seperti umumnya para apoteker di Mesir, apoteker (perempuan) yang saya datangi adalah orang Kristen. Saya telah bertemu dengannya cukup lama sehingga saya merasa nyaman untuk berbicara dengannya. Saya mulai mengeluh, “Pil-pil ini tidak lagi membantu saya seperti sebelumnya.”
Ia menjawab, “Kamu sepertinya sudah pada tahap berbahaya. Kamu mulai menjadi terbiasa dengan tablet-tablet itu. Kamu meminumnya bukan untuk menghilangkan rasa sakit tetapi karena kamu tidak bisa menghentikannya sekarang.” Lalu ia berkata dengan lembut, “Apa yang terjadi dalam hidupmu?” Ia tahu bahwa keluarga saya adalah keluarga terpandang dan bahwa saya lulus dari Al-Azhar. Saya memberitahukannya bahwa saya sedang mencari Tuhan. Ia terkejut. “Ada apa dengan tuhanmu dan agamamu?” katanya. Jadi saya menceritakan kisah saya kepadanya.
Ia kemudian mengeluarkan sebuah buku dari bawah mejanya dan berkata perlahan-lahan, “Saya akan memberimu buku ini. Sebelum kamu meminum pilmu malam ini, cobalah untuk membaca sesuatu dari buku itu. Kemudian lihat apa yang kamu rasakan.”
Saya membawa pil-pil ini di tangan yang satu sementara tangan yang lainnya memegang buku itu. Buku itu berwarna hitam dengan tulisan “Kitab Suci” dalam bahasa Arab di bagian depannya. “Baiklah” kata saya. “Saya akan mencobanya.” Kemudian saya keluar dari apotek dan memegang buku itu sedemikian rupa sehingga bagian depannya menghadap ke tubuh saya dan judulnya tidak bisa dibaca. Lalu saya pulang ke rumah dan masuk ke dalam kamar. Ini adalah saat pertama dalam hidup saya membawa sebuah Alkitab. Saya berusia tiga puluh lima tahun pada saat itu.
MEMBACA ALKITAB
Saat itu adalah malam di musim panas, sekitar pukul 10.00. Sakit kepala saya begitu hebat, tetapi saya tidak meminum obat saya. Saya hanya menaruhnya di atas meja, dan melihat pada Alkitab itu. Saya tidak tahu harus membaca dari mana, jadi saya menjatuhkannya dan terbuka begitu saja. Alkitab itu ternyata adalah salinan dari Alkitab pribadi sang apoteker, dan saya memperhatikan catatannya pada halaman itu. Buku itu jatuh dan terbuka di Matius 5.
Saya mulai membaca tentang khotbah Yesus di atas gunung. Kemudian saya melihat sebuah gambaran – Yesus di atas gunung sedang mengajar kerumunan orang di sekitarnya. Sementara saya membaca, saya lupa kalau saya sedang di rumah. Saya tidak merasakan apa-apa di sekitar saya. Kitab Matius itu membawa saya dari satu cerita kepada cerita yang lain.
Otak saya mulai bekerja seperti komputer. Di dalam buku itu saya melihat gambar tentang Yesus. Di dalam otak saya, saya melihat gambar tentang Muhammad. Otak saya tidak berhenti untuk membuat perbandingan-perbandingan. Saya dipenuhi dengan Al Quran dan kisah hidup Muhammad sehingga tidak diperlukan upaya keras untuk mengingat semua hal itu. Gambaran-gambaran itu sepertinya ada di sana begitu saja.
Saya terus membaca Alkitab tanpa menyadari waktu, sampai akhirnya saya mendengar panggilan sembahyang pagi dari mesjid.
MEMBACA BERSAMA SAYA
Para pembaca yang terkasih, sekarang kita sampai sampai pada saat di dalam hidup saya, di mana saya ingin Anda mengetahuinya. Jika Anda ingin tahu apa yang terjadi pada saya setelah malam itu, Anda dapat membacanya pada akhir buku ini. Tetapi saya ingin berhenti sejenak di sini dan mengulang kembali situasinya bersama Anda.
Dulu saya adalah seorang sarjana yang menghabiskan waktu selama tiga puluh tahun untuk mempelajari agama Islam dan kehidupan Muhammad. Saya tidak hanya mempraktekkan ajaran Islam tetapi juga mengingatnya. Sekarang, di hadapan saya ada sebuah Alkitab yang memperkenalkan saya kepada Yesus.
Di halaman-halaman berikutnya, saya ingin Anda mengalami apa yang saya lihat pada malam itu di kamar saya di Mesir, dan apa yang telah saya temukan selama lebih dari sebelas tahun kemudian. Tidak ada pelajaran teologia di dalamnya, tidak ada komentar, dan tidak ada kata-kata khayalan. Saya tidak mempunyai seorangpun di samping saya untuk mengatakan, “Inilah yang dimaksudkan oleh Alkitab.” Saya hanya membacanya seperti apa yang disampaikan kepada saya. Saya tidak membutuhkan seseorang untuk memberitahukan, “Inilah yang Muhammad katakan atau lakukan.” Saya telah mengingatnya dari sumbernya langsung.
Ijinkanlah saya memperkenalkan kepada Anda, Yesus dan Muhammad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar