Saya menghabiskan waktu dua tahun melakukan penelitian untuk memperoleh gelar doktor. Selama itu, saya memiliki dua tanggung jawab utama. Saat itu saya mengajar di Universitas Al-Azhar, Kairo dan universitas-universitas Islam lainnya yang ada di Timur Tengah. Tetapi, saya juga adalah pemimpin dari sebuah mesjid kecil. Saya memimpin doa pertama, keempat dan kelima setiap hari dan pada hari Jumat saya berkhotbah serta memimpin doa sepanjang hari.
Saya senang sekali mengajar dan berbicara dengan para murid. Tidak lama kemudian, saya mulai mengajar dengan cara yang baru. Saya mengijinkan mahasiswa saya untuk berdebat dan bertanya. Hal ini merupakan cara yang berbahaya untuk dilakukan. Seperti misalnya, ketika saya mengajarkan tentang pemimpin-pemimpin Islam pada masa mula-mula, ada cerita tentang Muawiya [Moo-uh-Ww-yuh] dan puteranya, inti dari tesis saya. Muawiya adalah salah seorang yang menuliskan pewahyuan Al Quran untuk Muhammad, yang tidak bisa membaca atau menulis. Ia kemudian menjadi pemimpin Islam dunia setelah Muhammad. Sebelum meninggal, ia menasehatkan puteranya untuk menangkap dan membunuh empat orang yang dapat mengancam kesempatannya puteranya itu untuk menjadi pemimpin Islam berikutnya. Puteranya ini kemudian mengikuti nasehatnya; dan atas nasehat ayahnya itu pula, ia membunuh cucu Muhammad demi mengamankan posisinya. Saya memberitahukan murid-murid saya, “Mari kita melihat kepada Tuhan dalam situasi ini. Kita perlu mencari cinta dan belas kasihan Tuhan dalam situasi ini.”
Saya ingin membangun semangat baru dalam kelas ini. Saya pernah tidak dijinkan untuk bertanya ketika saya masih menjadi mahasiswa. Tetapi, saya ingin mahasiswa saya berpikir bebas dan menggunakan otak mereka tanpa merasa takut karena adanya konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Kebanyakan mahasiswa mampu berpikir kritis. Salah seorang bertanya, “Apakah hadits ini benar-benar ada? Jangan-jangan orang Yahudi yang membuatnya.” Saya mengajaknya untuk melihat sumber cerita itu dan menjawab, “Ini kisah nyata dan bukan karangan.” Jadi mereka benar-benar merenungkan pertanyaan itu. Tetapi beberapa mahasiswa yang radikal merasa bahwa saya memojokkan Islam, “Allah mengampuni kita,” teriak mereka. “Anda adalah dosen kami. Ajarkan kami tentang Islam. Anda membingungkan kami.”
Mahasiswa-mahasiswa ini mendatangi pemimpin universitas dan berkata, “Ini adalah dosen yang berbahaya. Kami tidak tahu apakah ia masih seorang muslim atau telah berpaling.”
Al-Azhar sangat takut akan adanya kekuatan asing yang menyerangnya dari dalam. Ketua departemen saya, memanggilnya saya untuk menemuinya. Saya pikir universitas akan menghancurkan saya, tetapi saya juga berpikir, “Dosen-dosen ini mengenal saya. Mereka mengetahui hati dan keinginan saya untuk belajar. Mereka juga mengetahui tidak ada pertanyaan saya yang baru.”
Dalam pertemuan itu, ketua departemen saya memahami perkembangan pemikiran saya. Ia menjadi takut karenanya. “Anakku,” katanya, “Kita tidak bisa melihat masalah ini dengan cara seperti itu. Ada aturan-aturannya dan kita harus mematuhinya. Kita tidak boleh berpikir lebih daripada Nabi atau Tuhan. Ketika engkau bingung, katakan saja, “Allah dan Rasulnya mengetahui kebenarannya.” Serahkan ini di tangan mereka dan lanjutkan.” Tetapi ia menyadari bahwa saya perlu ditangani.
Kemudian saya dipanggil dalam pertemuan lainnya dengan komite penegakan peraturan universitas. Pertemuan ini berjalan dengan baik pada awalnya. Mereka tidak ingin saya keluar dari universitas tetapi juga saya tidak boleh mengritik Islam.
Pada awalnya mereka menunjukkan sikap mengatur. Mereka menanyakan tentang hidup, rumah dan keluarga saya. Kemudian mereka berbicara tentang kelas dan mahasiswa saya. Akhirnya, mereka menantang saya, “Mengapa Anda menanyakan pertanyaan seperti itu?” Tidakkah Anda mengetahui bahwa Anda harus mengatasi masalah ini sama seperti yang kita semua lakukan? Anda mengetahui banyak hal, tetapi tidak peduli berapapun banyaknya yang kita pelajari, banyak hal yang masih jauh dari kebenaran. Milikilah disiplin. Katakan apa yang Anda pahami. Tetapi, ketika ada pergumulan, katakan saja, ’Allah dan nabi-Nya yang mengetahui.’”
Mereka bertanya, “Apakah Anda telah mempelajari The Sword on the Neck of The Unbeliever seperti yang kami minta kepada Anda?” Ini adalah sebuah buku yang mengajak umat Islam untuk menerima ajaran Muhammad tanpa pertanyaan.
Saya menjawab, “Saya telah membacanya berulang kali, hingga saya hampir menghafalnya, sama seperti Al Quran.”
Sampai di sini, saya punya pilihan. Saya dapat menyangkal semua kesalahan saya, setuju untuk mengajar dengan cara lama, dan saya akan baik-baik saja. Atau, saya memberitahu mereka apa yang saya pikirkan. Saya menjawab, “Begini, apa yang saya katakan kepada Anda sekarang bukan karena saya ingin menuduh Nabi atau agama Islam. Saya sangat meyakini mereka di dalam hati saya. Anda mengetahui saya. Anda mencintai saya. Tolong jangan menuduh saya. Tetapi, carilah jalan untuk menolong saya dan menjawab pertanyaan saya.”
“Kita mengatakan Al Quran turun langsung dari Allah, tetapi saya meragukannya. Saya melihat itu sebagai hasil pemikiran dari seorang manusia, bukan firman dari Tuhan yang sebenarnya.”
Suasana dalam pertemuan seketika itu juga berubah. Seorang laki-laki menjadi marah. Ia bangkit dari tempat duduknya, berdiri di depan saya dan meludahi wajah saya. “Kamu seorang penghujat,” gertaknya. “Aku bersumpah, ibumu pasti seorang bajingan.” Saya dapat mengetahui dari wajahnya bahwa jika dalam pertemuan ini tidak ada orang lain, ia pasti sudah akan membunuh saya seketika itu juga. “Keluar,” teriaknya.
Saya berdiri hendak meninggalkan ruangan. Pada saat itu seluruh tubuh saya bergetar dan keluar keringat. Saya sadar bahwa kata-kata yang baru saja saya ucapkan merupakan jaminan kematian. Saya berpikir, “Apakah mereka akan membunuh saya? Bagaimana? Kapan? Siapa? Apakah keluarga saya yang akan melakukannya? Atau orang-orang di mesjid tempat saya mengajar? Atau murid-murid saya?
Kejadian itu adalah saat-saat terburuk dalam hidup saya.
Saya meninggalkan pertemuan itu dan pulang ke rumah. Saya tidak mengatakan apapun kepada keluarga tentang yang baru saja terjadi, tetapi kemudian saya mengerti bahwa saya kecewa terhadap sesuatu. Saya tidur lebih cepat malam itu.
PERJALANAN MENUJU PENJARA
Pada pagi-pagi benar, sekitar jam 3 pagi, pada malam yang sama, ayah saya mendengar suara ketukan di depan pintu rumah. Ketika ia membuka pintu, lima belas sampai dua puluh orang pria dengan cepat melewatinya sambil membawa senjata buatan Rusia, Kalashnikov. Mereka naik ke atas dan ke seluruh bagian rumah, membangunkan setiap orang yang mencari saya.
Satu diantara mereka menemukan saya tidur di tempat tidur saya. Seluruh keluarga terbangun, menangis dan ketakutan, ketika seorang pria menarik saya keluar dari pintu depan. Mereka mendorong saya ke bagian belakang mobil dan pergi. Saya terkejut, tetapi saya tahu, inilah hasil dari apa yang telah terjadi di universitas sehari sebelumnya. Saya ditaruh di tempat yang mirip dengan penjara dimana saya ditempatkan di dalam sel dengan tahanan lainnya.
Keesokan paginya, orangtua saya dengan gelisah mencoba mencari tahu apa yang telah terjadi kepada saya. Segera saja mereka pergi ke kantor polisi dan bertanya, “Di mana anak kami?” Tetapi tidak seorangpun mengetahui tentang saya.
Saya berada di tangan polisi rahasia Mesir.
DITUDUH MENJADI SEORANG KRISTEN
Selama tiga hari, para penjaga tidak memberi saya makan ataupun minum.
Pada hari keempat, interogasi dimulai. Selama empat hari ke depan, tujuan polisi rahasia ini adalah untuk membuat saya mengaku bahwa saya telah meninggalkan agama Islam dan menjelaskan bagaimana hal itu terjadi. Cara mereka adalah dengan meninggalkan saya sendirian sepanjang hari dan mengeluarkan saya dari sel pada malam hari untuk diinterogasi.
Pada malam pertama, pertanyaan dimulai di dalam sebuah ruangan dengan meja besar. Orang yang menanyakan saya duduk di belakang meja dengan sebatang rokok di tangannya, dan saya duduk di sisi lainnya. Ia yakin bahwa saya telah murtad dan menjadi seorang Kristen. Orang itu terus bertanya kepada saya, “Pendeta mana yang telah berbicara denganmu? Gereja mana yang telah kamu kunjungi? Mengapa kamu menghianati Islam?”
Ia melakukan lebih dari sekedar bicara. Saya memiliki bekas luka bakar pada tangan, lengan dan muka saya akibat sundutan rokok dan alat pemanas dari besi untuk menunjukkan kesungguhannya.
Ia ingin saya mengaku bahwa saya telah murtad, tetapi saya menjawab, “Saya tidak mengkhianati Islam. Saya hanya mengatakan apa yang saya percayai. Saya adalah seorang akademisi. Saya seorang pemikir. Saya punya hak untuk membahas topik apapun di dalam agama Islam. Ini adalah bagian dari pekerjaan dan kehidupan akademik saya. Saya bahkan tidak pernah bermimpi untuk murtad dari Islam – Islam adalah darah saya, budaya, bahasa, keluarga dan hidup saya. Tetapi jika Anda menuduh saya telah murtad dari Islam karena apa yang saya katakan kepadamu, maka keluarkanlah saya dari Islam. Saya tidak keberatan dikeluarkan dari Islam.”
Para penjaga menarik saya dan mengembalikan saya ke sel sepanjang hari itu. Teman satu sel saya yang berpikir saya dihukum karena saya adalah seorang pengkaji agama Islam, memberikan saya makanan dan minumannya.
Keesokan malamnya, saya dibawa ke dalam sebuah ruangan dengan tempat tidur besi di dalamnya. Para penjaga selalu mengucapkan sumpah serapah atas saya dan menghina saya, mencoba untuk mendapatkan pengakuan dari saya. Mereka mengikat saya di tempat tidur dan mencambuk kaki saya sampai saya pingsan.
Ketika saya bangun, mereka membawa sebuah tangki kecil berisi air dingin. Mereka memaksa saya untuk bangun, dan itu tidak lama sebelum akhirnya saya pingsan kembali. Ketika bangun, saya tergeletak di atas tempat tidur di mana mereka mencambuki saya, masih dengan pakaian yang basah.
Saya menghabiskan satu hari lagi di dalam sel. Malam berikutnya saya dibawa keluar, ke bagian belakang bangunan itu. Saya melihat ada sebuah ruangan kecil, tanpa jendela ataupun pintu. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah melalui jendela di bagian atasnya. Para penjaga itu kemudian memaksa saya untuk menaiki tangga menuju ke atas dan berkata, “Masuk.”
Saya meluncur ke bawah dari pintu masuk itu dan merasakan air di seluruh tubuh saya, tetapi kemudian saya merasakan kaki saya berpijak di atas tanah. Air menutupi tubuh saya sampai sebatas bahu. Kemudian saya melihat sesuatu berenang di atas air – tikus. “Orang ini adalah seorang pemikir dalam agama Islam,” kata mereka, “jadi kita biarkan saja tikus memakan kepalanya.”
Mereka menutup pintu atas, dan saya tidak dapat melihat apapun. Saya berdiri di air dan menunggu di dalam kegelapan. Beberapa menit berlalu. Kemudian beberapa jam. Keesokan paginya para penjaga datang kembali untuk melihat apakah saya masih hidup. Saya tidak akan pernah melupakan sinar matahari yang terlihat ketika pintu atas ruangan itu dibuka. Sepanjang malam saya merasakan tikus-tikus menaiki kepala dan bahu saya, tetapi tidak satu ekorpun yang mengigit saya. Para penjaga kemudian membawa saya kembali ke dalam sel dengan heran.
Malam harinya, para penjaga membawa saya ke depan sebuah ruangan kecil dan berkata, “Ada seseorang yang sangat mencintaimu dan ingin bertemu denganmu.” Saya berharap itu adalah salah satu anggota keluarga atau teman saya yang mengunjungi atau membawa saya keluar dari penjara itu.
Mereka membuka pintu ruangan, dan di dalamnya saya melihat seekor anjing
besar. Tidak ada orang lain di dalam ruangan itu. Mereka mendorong saya masuk ke dalam dan menutup pintu. Di dalam hati saya berteriak kepada Sang Pencipta, “Engkaulah Tuhanku. Engkau yang menjagaku. Bagaimana Engkau dapat meninggalkanku di tangan orang-orang jahat ini? Saya tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang ini terhadapku, tetapi saya tahu bahwa Engkau bersamaku, dan satu hari nanti saya akan melihat-Mu dan bertemu dengan-Mu.”
Saya berjalan ke tengah ruangan yang kosong itu dan duduk dengan kaki bersila di atas lantai. Anjing itu lalu menghampiri saya dan duduk di depan saya. Menit-menit berlalu sementara anjing itu memandangi saya. Anjing itu kemudian berdiri dan mulai berjalan mengelilingi saya, seperti seekor binatang yang hendak memakan sesuatu. Ia lalu berjalan ke sisi kanan saya, menjilati telinga saya, dan duduk. Saya sangat lelah. Tidak lama setelah ia duduk di sebelah kanan saya, saya pun tertidur.
Ketika saya bangun, anjing itu duduk di sudut ruangan. Lalu berlari ke arah saya dan duduk kembali di sebelah kanan saya. Ketika para penjaga membuka pintu, mereka melihat saya sedang berdoa, dengan anjing duduk di sebelah saya. Mereka mulai benar-benar bingung karena saya. Itu adalah hari terakhir saya diinterogasi. Saya kemudian dipindahkan ke penjara permanen. Sampai di sini, di dalam hati saya, saya benar-benar menolak Islam.
Selama saat-saat itu berlangsung, keluarga saya terus mencoba mencari tahu di mana saya berada. Tetapi mereka tidak berhasil sampai kakak lelaki ibu saya, salah seorang petinggi di Parlemen Mesir, kembali ke Mesir setelah berjalan-jalan dari luar negeri. Ibu saya memanggilnya dan sambil menangis tersedu-sedu ia berkata, “Selama dua minggu kami tidak tahu dimana putera kami berada. Ia hilang.” Paman saya memiliki jaringan yang tepat. Lima belas hari setelah saya diculik, ia datang ke penjara itu seorang diri dengan surat jaminan pembebasan dan membawa saya pulang ke rumah.
PERUBAHAN DIAM-DIAM
Beberapa orang mungkin berkata, “Tidak heran jika orang ini meninggalkan Islam. Ia kecewa karena ia dianiaya oleh orang-orang Islam.” Ya memang itu benar. Ketika saya dianiaya atas nama membela agama Islam, saya tidak membuat perbedaan antara orang Islam dengan ajaran Islam. Jadi penganiayaan merupakan dorongan terakhir yang memisahkan saya dari Islam.
Namun sesunguhnya saya telah mempertanyakan Islam beberapa tahun sebelum saya dipenjarakan. Pertanyaan saya itu bukan didasarkan pada tindakan umat Islam melainkan tindakan Muhammad dan para pengikutnya juga terhadap ajaran Al Quran. Dimasukkan dalam penjara hanya mempercepat langkah kemana saya akan pergi.
Saya kembali ke rumah orang tua saya untuk mencari tahu apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Kemudian seorang polisi memberikan laporan kepada ayah saya:
“Kami telah menerima fax dari Universitas Al-Azhar yang menuduh anak Anda meninggalkan agama Islam, tetapi setelah interogasi selama lima belas hari kami tidak menemukan bukti-bukti yang mendukung pertanyaan itu.”
Ayah saya lega mendengar hal itu. Ia tidak pernah bermimpi bahwa saya akan meninggalkan Islam, meskipun saya tidak memberitahukan kepadanya perasaan saya yang sebenarnya. Ia menganggap semua peristiwa ini adalah akibat perbuatan buruk orang-orang di universitas tempat saya mengajar. Saya mendukungnya untuk mempercayai hal itu.
“Kita tidak membutuhkan mereka,” katanya, dan segera setelah itu, ia meminta saya untuk memulai pekerjaan sebagai seorang Direktur Pemasaran di pabriknya. Namun, ia tidak memahami kekacauan yang terjadi di dalam diri saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar